Minggu, 14 Agustus 2011

Tanya jawab Zakat


Pertanyaan:

Salam
Selama Ramadhan banyak jama’ah yang memberikan bantuan ke mesjid-mesjid,ada infaq,sadaqah dan zakat,namun masalah zakat banyak pengurus mesjid berbeda pendapat dalam pendistribusiannya 1. ada pengurus yang berpendapat bhw zakat boleh di manfaatkan untuk pembangunan mesjid,kecuali zakat fitrah 2. ada yang berpendapat semua zakat (maal,profesi,perniagaan) tidak boleh di gunakan untuk pembangunan mesjid,hanya khusus untuk asnaf 8,sementara zakar fitrah diutamakan untuk fakir miskin.
mohon penjelasannya dari pendapat diatas.
Sukran

This mail is sent via contact form on Madadulhaqq.NET http://www.madadulhaqq.net

Ustadz Abbas menjawab:

HUKUM TASHARRUF (DISTRIBUSI) ZAKAT UNTUK
MASJID ATAU MADRASAH
Zakat dalam syariat Islam dibagi dua macam, yaitu zakat badan (zakat fithrah) dan zakat harta (zakat mal). Zakat adalah satu-satunya ibadah yang tidak hanya berdimensi mahdlah (vertikal), yaitu hubungan antara Allah dengan manusia, namun juga berdimensi muamalah (horizontal), yaitu hubungan antar sesama manusia. Artinya, zakat bisa digolongkan ke dalam kajian fiqh ibadah dan fiqh muamalah. Zakat bisa masuk dalam bahasan fiqh ibadah, karena memang syariat (al-Qur’an dan Hadits) telah mengatur secara rinci dan jelas. Dalam zakat mal misalnya, sudah diatur dengan jelas; siapa yang wajib zakat (muzaqqi); siapa yang berhak menerima zakat (mustahiq); harta apa saja yang harus dikeluarkan zakatnya (amwâl al-zakâh); berapa jumlah atau kadar minimal harta yang wajib zakat (nishâb);   berapa bagian yang dikeluarkan dari masing-masing harta zakat (nisbah al-zakâh); kapan harta wajib dikeluarkan zakatnya (haul).
Namun dari sisi lain, zakat lebih  tepat bernuansa muamalah (sosial), karena peran, fungsi dan manfaat zakat yang lebih dominan bersingungan dengan sesama manusia (masyarakat). Karena berperan sebagai sarana pemerataan ekonomi, perekat kasih sayang dan kepedulian si kaya kepada si miskin, bahkan bisa membuka peluang lapangan pekerjaan baru dengan zakat produktif misalnya dan lain-lain. Teks-teks tentang aturan main zakat sangat terbatas dan tidak mungkin berubah, karena wahyu sudah terhenti dengan wafatnya Nabi Muhammad SAW. Sedangkan peradaban manusia  terus bergerak dinamis mengalami perubahan dari masa ke masa.  Misalnya pada aspek amwâl al-zakâh,  keberadaan mata uang yang terbuat dari emas (dinâr) dan perak (dirham) pada masa modern sudah tidak ditemukan lagi, bahkan ada beberapa surat berharga yang bernilai sama seperti uang yang belum ada pada masa Nabi Muhammad SAW dan imam-imam mujtahid fiqh dan masih banyak lagi. Begitu juga bentuk-bentuk pekerjaan atau profesi; dahulu hanya pedagang dan petani tetapi sekarang banyak profesi-profesi baru yang menghasilkan keuntungan finansial  seperti halnya pedagang dan petani bahkan terkadang lebih besar keuntungannya, seperti dokter, pegawai negeri sipil atau swasta dan lain-lain. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika para ulama kontemporer melakukan ijtihad-ijtihad mu’âshir (kontemporer) dalam bidang zakat untuk menjawab perubahan fiqh zakat masyarakat Islam. Antara lain adalah fatwa wajibnya zakat profesi bagi para pegawai negeri atau swasta oleh beberapa ulama kontemporer, seperti Muhammad al-Ghazâlî, Yusuf al-Qardlâwî, Wahbah al-Zuhaylî dan lain-lain. Walau antara Muhammad al-Ghazâlî dengan Yusuf al-Qardlâwî dan Wahbah al-Zuhaylî ada perbedaan cara pandang dalam mengambil qiyâs (analog) terhadap dasar pertimbangan wajibnya zakat profesi, yaitu “apakah diqiyaskan kepada zakat perdagangan atau zakat pertanian?” Para ulama kontemporer, baik nasional atau internasional belum mencapai kata sepakat atau ijmâ’ tentang wajibnya zakat profesi.
Begitu juga ijtihad ulama kontemporer tentang pemaknaan ulang akan maksud dari salah satu ashnaf (golongan penerima) zakat, yaitu “fi sabilillah”, sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. al-Taubah: 60;
إنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”

Dari ayat di atas semaua ulama telah sepakat bahwa yang berhak menerima zakat itu ada 8 golongan, Ialah: 1. orang fakir: orang yang Amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya. 2. orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam Keadaan kekurangan. 3. Pengurus zakat: orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat. 4. Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah. 5. budak yang sedang berusaha mengumpulkan uang untuk memerdekakan dirinya sendiri,  mencakup juga untuk melepaskan Muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir. 6. orang berhutang: orang yang berhutang karena untuk kepentingan pokok (kebutuhan primer) yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya. 7. pada jalan Allah (sabilillah): Yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. Di antara mufasirin ada yang berpendapat bahwa “fi sabilillah” itu mencakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain. 8. orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya. Untuk zaman sekarang sudah bisa dipastikan tidak ada lagi budak dan perbudakan maka ashnaf zakat berkurang menjadi 7 golongan saja.
Namun definsi dari tiap-tiap golongan di atas masih kita dapati perbedaan pendapat antara sesama ulama klasik apalagi antara ulama klasik dan kontemporer yang salah satunya adalah kata “fi sabilillah (di jalan Allah)”. Dalam literatur kitab-kitab fiqh klasik, hampir semua ulama berpendapat bahwa yang di maksud “fi sabilillah” adalah para pejuang perang (tentara) muslim yang sedang membela agama dan berperang melawan orang-orang kafir, tapi bagi tentara yang sukarela saja yang berhak dapat zakat. Sedangkan tentara yang resmi mendapat gaji dari pemerintah muslim, tidak berhak mendapat zakat, karena ia sudah dapat gaji dari pemerintah (begitupun untuk amil; hanya amil yang tidak dapat gaji dari pemerintah yang berhak dapat zakat).
Berbeda dengan pendapat sebagian besar ulama kontemporer, seperti syekh Yusuf al-Qardlâwî dalam bukunya “fiqh al-zakah” berpendapat bahwa: memaknai “fi sabilillah” hanya kepada tentara adalah terlalu mempersempit maksud dan tujuan zakat untuk kemaslahatan umum atau jalan Allah, di samping itu untuk masa sekarang sulit di temukan perang atas nama agama dan juga jarang di temukan tentara sukarela. Maka beliau berpendapat maksud dari kata “fi sabilillah” itu tidak hanya untuk tentara sukarelawan saja, namun semua bentuk ibadah yang berdimensi “fi sabilillah” seperti guru ngaji, kemaslahatan atau beaya pembangunan masjid atau  madarsah dll. Karena kata “fi sabilillah”  dalam ayat di atas adalah general (mutlaq) dan tidak muqayyad (tidak di-spesifikasikan/dibatasi) dengan kata penjelas lain, yaitu mujahid atau jund yang berarti tentara, maka ketika kata dalam nash al-Qur’an itu mutlaq, hendaknya tidak dibatasi atau dipersempit.
Oleh karena, dalam menanggapi pertanyaan di atas saya secara pribadi lebih setuju dengan pendapat sebagain besar ulama kontemporer yang tidak mempersempit kata “fi sabilillah” dan tidak hanya memberikan zakat untuk tujuan konsumtif saja, namun zakat juga bisa diperuntukan untuk tujuan produktif, seperti zakat untuk modal usaha atau bangun masjid/madrasah. Karena memberikan zakat secara produktif lebih berarti dan maslahat dari pada secara konsumtif yang habis begitu saja dipakai makan-minum. Hanya saja zakat yang bisa bernilai produktif itu terbatas pada zakat mal (harta) dan bukan zakat badan (fithrah). Karena zakat fithrah yang terbaik (bahkan yang sah dalam mazhab Imam Syafi’i) dengan makanan pokok dan bukan dengan uang. Namun perlu diingat, penggunaan zakat mal untuk produktif atau bangun masjid/madrasah tidak boleh dihabiskan semua untuk satu kepentingan saja. Karena mazhab Syafi’i berpendapat; distribusi zakat itu harus minimal kepada tiga golongan dari delapan ashbaf yang tiap-tiap ashnaf minimal harus tiga orang. Hal ini dikarenakan dalam ayat di atas menggunakan kata jamak (plural), yaitu shadaqât (jamak dari shadaqah) dan fuqarâ (jamak dari faqir), dst, sedangkan kata jamak itu minimal untuk tiga orang. Wallahu a’alam bi al-shawab.
Malang, 11-8-2011
Abbas Arfan Baraja


Pertanyaan:

Assalamu’alaikum wr wb.. Ustad, saya mau menanyakan tentang tata cara
perhitungan zakat dalam investasi emas. Saya diberi hibah dalam bentuk
uang,uang tersebut lalu saya belikan emas sebagai investasi. Bagaimana
cara menghitung zakatnya, baik sebelum atau sesudah dijual?karena
harga(nilainya)yg fluktuatif. Mohon petunjuknya
Ustad,terimakasih..Wassalamu’alaikum wr.wb..

This mail is sent via contact form on Madadulhaqq.NET
http://www.madadulhaqq.net

Ustadz Abbas menjawab:

Wa ‘alaikum salam wa Rahmatullah.
Emas adalah termasuk dari ashnaf (jenis) harta yang wajib dikeluarkan zakatnya (zakat mal) dengan beberapa syarat, yaitu: (1) milik sendiri, (2) bukan emas yang untuk dipakai sebagai perhiasan (dalam mazhab Imam Syafi’i emas yang dipakai perhiasan tidak wajib dikeluarkan zakatnya, namun dalam pendapat Imam Malik tetap wajib zakat walau emas itu dipakai sebagai perhiasan), (3) telah mencapai nishabnya zakat emas, yaitu 85 gr emas dan (4) telah mencapai haul (genap 1 tahun Hijriyah). maka setelah terpenuhi semua syarat di atas, wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5 % (dua setengah persen).
Adapun untuk contoh kasus anda, maka anda harus memastikan tanggal berapa anda membeli emas tsb? dan berapa gram? Misalnya beli tgl 1 ramadlan tahun ini ;1432 H sebesar 100 gram dengan harga emas saat beli misalnya per gramnya adalah Rp. 300 ribu (100 x 300.000,- = Rp. 30.000.000,-). Maka setelah berlalu genap satu tahun, yaitu tgl 1 Ramadlan th 1433 H anda wajib mengeluarkan zakatnya 2,5% dengan harga emas waktu akan bayar zakatnya, misalnya harga emasnya per gramnya adalah 400 ribu dan jumlah gram emasnya tidak berkurang selama 1 th; 100 x 400.000,- = 40.000.000,- lalu zakatnya adalah 2,5 % dari 40 juta rupiah, yaitu 1.000.000,- (satu juta rupiah).
Lalu muncul beberapa  persoalan, yaitu: (1) Bagaimana jika saat membeli emas itu belum mencapai 1 nishab (kurang dari 85 gr)? Jawabnya adalah: Tidak menjadi masalah nilai gr emas saat membeli; baik capai nishab atau tidak; yang penting saat mencapai haulnya telah mencapai nishab. Maka jika seseorang telah memiliki emas pada awal tahun sebesar 1 nishab atau lebih, lalu saat akhir tahun (setelah genap 1 th) jumlah emasnya berkurang dari nishabnya (kurang dari 85 gr), karena di pertengahan tahun ia menjual beberapa gram untuk sebuah kebutuhan, maka ia tidak wajib zakat. Namun juga sebaliknya; jika awal tahun ia punya emas yang kurang dari nishabnya, namun di akhir tahun telah mencapai nishab atau lebih, karena di pertengahan tahun ia telah membeli lagi beberapa gram emas, maka ia wajib untuk zakat mal.
(2) Bagaimana jika ada  orang yang sengaja membuat hilah (muslihat), yaitu dengan sengaja menjual (sebelum tiba haulnya) beberapa gram emas yang dimilikinya & telah mencapai nishab dengan tujuan agar saat tiba haulnya nanti menjadi kurang dari 1 nishab, sehingga ia tidak wajib zakat? Jawabnya adalah: secara fiqh sah dan tidak wajib zakat, tapi berdosa, karena secara sengaja melakukan hilah agar terhindar dari zakat. Oleh karena itu, jika nanti di akherat ia masuk neraka & dipanggang dalam sebuah drum besar misalnya, lalu ia protes pada malaikat: “Mengapa saya di bakar dalam api neraka ini? bukankah saya seorang muslim yang taat?” Maka malaikat akan menjawab dengan hilah juga: “Lha, saya kan tidak membakar anda langsung? Saya kan hanya membakar drum yang penuh air ini? ya, salah sendiri mengapa anda ada di dalmnya?”
Wallahu a’alam bi shawab
Malang, 14 agustus 2011
Abbas Arfan Baraja

Kamis, 11 Agustus 2011

NIAT MENGELUARKAN ZAKAT

1. NIAT MENGELUARKAN ZAKAT HARTA
نَوَيْتُ اَنْ اُخْرِجَ صَدَقَةَ ا لْمَفْرُوْ ضَةِ عَلَيَّ للهِ تَعَالى
Nawaitu an ukhrija shodaqotal mafrudlotan ‘alaiya lillahi ta’ala
Artinya : “Saya berniat sengaja mengeluarkan zakat yang difardhukan karena Alloh Ta’ala”

2. NIAT MENGELUARKAN ZAKAT FITRAH
نَوَيْتُ اَنْ اُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنَّفْسِي فَرْ ضًا للهِ تَعَالَى
Nawaitu an ukhrija zakatal fitri ‘an nafsi fardhol lillahi ta’ala
Artinya : “Saya berniat sengaja mengeluarkan zakat fitrah untuk diri saya sendiri fardhu karena Alloh Ta’ala”

3. NIAT MENGELUARKAN ZAKAT FITRAH UNTUK DIRINYA SENDIRI & KELUARGA YANG MENJADI TANGGUNGANNYA
نَوَيْتُ اَنْ اُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْر عَنَّفْسِي وَعَنْ جَمِيْعِ مَا يَلْزَمُنِ نَفَقَا تُهُمْ شَرْ عًا فَرْ ضًا للهِ تَعَا لَى
Nawaitu an ukhrija zakatal fitri an nafsi wa’an jami’i mayalzamuni nafaqotuhum syar’an fardhol lillahi ta’ala
Artinya : “Saya berniat sengaja mengeluarkan zakat fitrah untuk diri saya sendiri dan unutk keluarga yang menjadi tanggungan saya fardhu karena Alloh Ta’ala”

4. NIAT MENGELUARKAN ZAKAT FITRAH UNTUK DIRINYA SENDIRI & MEWAKILI TEMANNYA
نَوَيْتُ اَنْ اُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنَّفْسِي وَمُوَ كِّلِى عَنْ جَمِيْعِ صَحَابَةِ فَرْ ضًا للهِ تَعَا لَى
Nawaitu an ukhrija zakatal fitri wamuwakili ‘an jami’i shohabati fardhol lillahi ta’ala
Artinya : “Saya berniat sengaja mengeluarkan zakat fitrah untuk diri saya sendiri dan mewakili sahabat saya, fardhu karena Alloh Ta’ala”

5. DO’A PENERIMA ZAKAT
اَجَرَكَ اللهُ فِيْمَا اَعْطَيْتَ وَبَارَكَ فِيْمَا اَلْقَيْتَ وَجَعَلَهُ لَكَ طَهُوْرًا
Ajaroka allohu fima a’thoita wabaroka fima al qoita waja’alahu laka thohuron
Artinya : “Semoga Alloh memberi pahala kepada engkau atas barang atau apa saja yang telah engkau berikan dan mudah-mudahan Alloh member berkah kepada engkau dan apa saja yang masih ada. Dan mudah-mudahan dijadikan kesucian bagi engkau”

Selasa, 09 Agustus 2011

BERANDA


Program Bayar Zakat merupakan salah satu program yang dilakukan oleh Yayasan P.P Salafiah Sholawat,kegiatan ini bertujuan untuk mempermudah bagi kaum Muslimin dan Muslimat dalam menunaikan kwajibannya dalam berzakat. Program Bayar Zakat menangani Penerimaan dan Penyaluran Zakat baik zakat Fitrah maupun Zakat Mall.

Yayasan P.P Salafiah Sholawat telah terdaftar sebagai lembaga pendidikan islam yang meliputi Pondok Pesantren, MTs Darus Sholawat, Play Group Sholawat dan usaha lain Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jendral Pendidikan Islam Nomor : DJ.i/456A/2008, tentang panduan penyusunan Nomor statistik lembaga pendidikan Islam serta hasil laporan dan verifikasi, Ponpes Sholawat berhasil menyelenggarakan Proses Pendidikan Formal dengan ijin dan penghargaan dari Kantor Kementrian Agama Kabupaten Madiun,


Nama Madrasah Diniyah : Sholawat


Nomor Statistik Madrasah Diniyah Lama : 41.235.19.09.124

Nomor Statistik Madrasah Diniyah Baru : 311.2.35.19.0123

Alamat

Dukuh : Klubuk Rt. 27 Rw. 07

Desa/ Kelurahan : Kedungrejo

Kecamatan : Pilangkenceng

Kabupaten : Madiun

Provinsi : Jawa Timur

Yayasan : P.P Salafiyah Sholawat

Berdiri Tahun : 1990

Senin, 08 Agustus 2011

KONFIRMASI DONASI


kami mengharapkan dengan sangat bagi para donasi setelah mengirimkan donasi di harap untuk konfirmasi ke
Abdul Muhfid : 083896937878, 085640319165
atau kirim email ke: muhfid_bari@yahoo.co.id


terimakasih

CARA BERDONASI


Untuk sementara kita baru menerima dan menyalurkan Zakat Fitrah dan Zakat Mal anda
Berikut tatacara berdonasi untuk menyalurkan Zakat anda :
zakat Fitrah untuk satu orang 2,7 kg(mahzab Syafi'i) x harga beras (standart kita pakai harga Rp. 9000/kg)

dari perhitung nominal diatas,donasi anda selnjutnya bisa di transfer ke

Bank Jateng(ATM Bersama) a/n Abdul Mufid No. rek : 2099047952 (kode bank Jateng pada ATM bersama adalah 113)
Bank BCA a/n Abdul mufid no. rek : 0095188341

SYARAT WAJIB DAN CARA MENGELUARKAN ZAKAT MAL

Syarat Wajib dan Cara Mengeluarkan Zakat Mal


Berbagai pertanyaan masuk ke meja redaksi muslim.or.id, berkaitan dengan zakat mal. Untuk melengkapi dan menyempurnakan pemahaman tentang zakat tersebut, maka berikut ini kami ringkas satu tulisan ustadz Kholid Syamhudi dari majalah As Sunnah edisi 06 tahun VII/2003M.

Syarat seseorang wajib mengeluarkan zakat adalah sebagai berikut:
  1. Islam
  2. Merdeka
  3. Berakal dan baligh
  4. Memiliki nishab
Makna nishab di sini adalah ukuran atau batas terendah yang telah ditetapkan oleh syar’i (agama) untuk menjadi pedoman menentukan kewajiban mengeluarkan zakat bagi yang memilikinya, jika telah sampai ukuran tersebut. Orang yang memiliki harta dan telah mencapai nishab atau lebih, diwajibkan mengeluarkan zakat dengan dasar firman Allah,
“Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ‘Yang lebih dari keperluan.’ Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir.” (Qs. Al Baqarah: 219)
Makna al afwu (dalam ayat tersebut-red), adalah harta yang telah melebihi kebutuhan. Oleh karena itu, Islam menetapkan nishab sebagai ukuran kekayaan seseorang.
Syarat-syarat nishab adalah sebagai berikut:
1. Harta tersebut di luar kebutuhan yang harus dipenuhi seseorang, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, kendaraan, dan alat yang dipergunakan untuk mata pencaharian.
2. Harta yang akan dizakati telah berjalan selama satu tahun (haul) terhitung dari hari kepemilikan nishab dengan dalil hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Tidak ada zakat atas harta, kecuali yang telah melampaui satu haul (satu tahun).” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dihasankan oleh Syaikh al AlBani)
Dikecualikan dari hal ini, yaitu zakat pertanian dan buah-buahan. Karena zakat pertanian dan buah-buahan diambil ketika panen. Demikian juga zakat harta karun (rikaz) yang diambil ketika menemukannya.
Misalnya, jika seorang muslim memiliki 35 ekor kambing, maka ia tidak diwajibkan zakat karena nishab bagi kambing itu 40 ekor. Kemudian jika kambing-kambing tersebut berkembang biak sehingga mencapai 40 ekor, maka kita mulai menghitung satu tahun setelah sempurna nishab tersebut.
Nishab, Ukuran dan Cara Mengeluarkan Zakatnya
1. Nishab emas
Nishab emas sebanyak 20 dinar. Dinar yang dimaksud adalah dinar Islam.
1 dinar = 4,25 gr emas
Jadi, 20 dinar = 85gr emas murni.
Dalil nishab ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Tidak ada kewajiban atas kamu sesuatupun – yaitu dalam emas – sampai memiliki 20 dinar. Jika telah memiliki 20 dinar dan telah berlalu satu haul, maka terdapat padanya zakat ½ dinar. Selebihnya dihitung sesuai dengan hal itu, dan tidak ada zakat pada harta, kecuali setelah satu haul.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi)
Dari nishab tersebut, diambil 2,5% atau 1/40. Dan jika lebih dari nishab dan belum sampai pada ukuran kelipatannya, maka diambil dan diikutkan dengan nishab awal. Demikian menurut pendapat yang paling kuat.
Contoh:
Seseorang memiliki 87 gr emas yang disimpan. Maka, jika telah sampai haulnya, wajib atasnya untuk mengeluarkan zakatnya, yaitu 1/40 x 87gr = 2,175 gr atau uang seharga tersebut.
2. Nishab perak
Nishab perak adalah 200 dirham. Setara dengan 595 gr, sebagaimana hitungan Syaikh Muhammad Shalih Al Utsaimin dalam Syarhul Mumti’ 6/104 dan diambil darinya 2,5% dengan perhitungan sama dengan emas.
3. Nishab binatang ternak
Syarat wajib zakat binatang ternak sama dengan di atas, ditambah satu syarat lagi, yaitu binatanngya lebih sering digembalakan di padang rumput yang mubah daripada dicarikan makanan.
“Dan dalam zakat kambing yang digembalakan di luar, kalau sampai 40 ekor sampai 120 ekor…” (HR. Bukhari)
Sedangkan ukuran nishab dan yang dikeluarkan zakatnya adalah sebagai berikut:
a. Onta
Nishab onta adalah 5 ekor.
Dengan pertimbangan di negara kita tidak ada yang memiliki ternak onta, maka nishab onta tidak kami jabarkan secara rinci -red.
b. Sapi
Nishab sapi adalah 30 ekor. Apabila kurang dari 30 ekor, maka tidak ada zakatnya.
Cara perhitungannya adalah sebagai berikut:
Jumlah Sapi
Jumlah yang dikeluarkan
30-39 ekor
1 ekor tabi’ atau tabi’ah
40-59 ekor
1 ekor musinah
60 ekor
2 ekor tabi’ atau 2 ekor tabi’ah
70 ekor
1 ekor tabi dan 1 ekor musinnah
80 ekor
2 ekor musinnah
90 ekor
3 ekor tabi’
100 ekor
2 ekor tabi’ dan 1 ekor musinnah
Keterangan:
  1. Tabi’ dan tabi’ah adalah sapi jantan dan betina yang berusia setahun.
  2. Musinnah adalah sapi betina yang berusia 2 tahun.
  3. Setiap 30 ekor sapi, zakatnya adalah 1 ekor tabi’ dan setiap 40 ekor sapi, zakatnya adalah 1 ekor musinnah.
c. Kambing
Nishab kambing adalah 40 ekor. Perhitungannya adalah sebagai berikut:

Jumlah Kambing
Jumlah yang dikeluarkan
40 ekor
1 ekor kambing
120 ekor
2 ekor kambing
201 – 300 ekor
3 ekor kambing
> 300 ekor
setiap 100, 1 ekor kambing
4. Nishab hasil pertanian
Zakat hasil pertanian dan buah-buahan disyari’atkan dalam Islam dengan dasar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya), dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Qs. Al-An’am: 141)
Adapun nishabnya ialah 5 wasaq, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Zakat itu tidak ada yang kurang dari 5 wasaq.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Satu wasaq setara dengan 60 sha’ (menurut kesepakatan ulama, silakan lihat penjelasan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 3/364). Sedangkan 1 sha’ setara dengan 2,175 kg atau 3 kg. Demikian menurut takaaran Lajnah Daimah li Al Fatwa wa Al Buhuts Al Islamiyah (Komite Tetap Fatwa dan Penelitian Islam Saudi Arabia). Berdasarkan fatwa dan ketentuan resmi yang berlaku di Saudi Arabia, maka nishab zakat hasil pertanian adalah 300 sha’ x 3 kg = 900 kg. Adapun ukuran yang dikeluarkan, bila pertanian itu didapatkan dengan cara pengairan (atau menggunakan alat penyiram tanaman), maka zakatnya sebanyak 1/20 (5%). Dan jika pertanian itu diairi dengan hujan (tadah hujan), maka zakatnya sebanyak 1/10 (10%). Ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Pada yang disirami oleh sungai dan hujan, maka sepersepuluh (1/10); dan yang disirami dengan pengairan (irigasi), maka seperduapuluh (1/20).” (HR. Muslim 2/673)
Misalnya: Seorang petani berhasil menuai hasil panennya sebanyak 1000 kg. Maka ukuran zakat yang dikeluarkan bila dengan pengairan (alat siram tanaman) adalah 1000 x 1/20 = 50 kg. Bila tadah hujan, sebanyak 1000 x 1/10 = 100 kg
5. Nishab barang dagangan
Pensyariatan zakat barang dagangan masih diperselisihkan para ulama. Menurut pendapat yang mewajibkan zakat perdagangan, nishab dan ukuran zakatnya sama dengan nishab dan ukuran zakat emas.
Adapun syarat-syarat mengeluarkan zakat perdagangan sama dengan syarat-syarat yang ada pada zakat yang lain, dan ditambah dengan 3 syarat lainnya:
1) Memilikinya dengan tidak dipaksa, seperti dengan membeli, menerima hadiah, dan yang sejenisnya.
2) Memilikinya dengan niat untuk perdagangan.
3) Nilainya telah sampai nishab.
Seorang pedagang harus menghitung jumlah nilai barang dagangan dengan harga asli (beli), lalu digabungkan dengan keuntungan bersih setelah dipotong hutang.
Misalnya: Seorang pedagang menjumlah barang dagangannya pada akhir tahun dengan jumlah total sebesar Rp. 200.000.000 dan laba bersih sebesar Rp. 50.000.000. Sementara itu, ia memiliki hutang sebanyak Rp. 100.000.000. Maka perhitungannya sebagai berikut:
Modal – Hutang:
Rp. 200.000.000 – Rp. 100.000.000 = Rp. 100.000.000
Jadi jumlah harta zakat adalah:
Rp. 100.000.000 + Rp. 50.000.000 = Rp. 150.000.000
Zakat yang harus dibayarkan:
Rp. 150.000.000 x 2,5 % = Rp. 3.750.000
6. Nishab harta karun
Harta karun yang ditemukan, wajib dizakati secara langsung tanpa mensyaratkan nishab dan haul, berdasarkan keumuman sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Dalam harta temuan terdapat seperlima (1/5) zakatnya.” (HR. Muttafaqun alaihi)
Cara Menghitung Nishab
Dalam menghitung nishab terjadi perbedaan pendapat. Yaitu pada masalah, apakah yang dilihat nishab selama setahun ataukah hanya dilihat pada awal dan akhir tahun saja?
Imam Nawawi berkata, “Menurut mazhab kami (Syafi’i), mazhab Malik, Ahmad, dan jumhur, adalah disyaratkan pada harta yang wajib dikeluarkan zakatnya – dan (dalam mengeluarkan zakatnya) berpedoman pada hitungan haul, seperti: emas, perak, dan binatang ternak- keberadaan nishab pada semua haul (selama setahun). Sehingga, kalau nishab tersebut berkurang pada satu ketika dari haul, maka terputuslah hitungan haul. Dan kalau sempurna lagi setelah itu, maka dimulai perhitungannya lagi, ketika sempurna nishab tersebut.” (Dinukil dari Sayyid Sabiq dari ucapannya dalam Fiqh as-Sunnah 1/468). Inilah pendapat yang rajih (paling kuat -ed) insya Allah. Misalnya nishab tercapai pada bulan Muharram 1423 H, lalu bulan Rajab pada tahun itu ternyata hartanya berkurang dari nishabnya. Maka terhapuslah perhitungan nishabnya. Kemudian pada bulan Ramadhan (pada tahun itu juga) hartanya bertambah hingga mencapai nishab, maka dimulai lagi perhitungan pertama dari bulan Ramadhan tersebut. Demikian seterusnya sampai mencapai satu tahun sempurna, lalu dikeluarkannya zakatnya. Demikian tulisan singkat ini, mudah-mudahan bermanfaat.
***
Diringkas dari tulisan: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Dipublikasikan ulang oleh www.muslim.or.id

SYARAT-SYARAT ZAKAT


Zakat secara bahasa berarti tumbuh. Selain itu zakat berarti mensucikan.
Adapun pengertian zakat secara istilah syar’i berkaitan erat dengan dua pengertian di atas. Apabila zakat berarti tumbuh, maka ini menunjukkan bahwa jika zakat tersebut dikeluarkan dari harta, maka harta tersebut akan semakin berkembang. Atau hal ini dapat bermakna pula bahwa zakat akan semakin memperbanyak pahala kebaikan seseorang. Atau dapat bermakna pula bahwa zakat itu ada pada harta yang berkembang saja seperti pada harta perdagangan dan pertanian. Adapun jika zakat berarti mensucikan, ini berarti zakat dapat menyucikan jiwa dari sifat pelit dan dapat menyucikan dari berbagai dosa. Demikian penjelasan yang penulis sarikan dari keterangan Ibnu Hajar dalam Al Fath.[1]
Intinya, pengertian zakat secara istilah, adalah penunaian kewajiban pada harta yang khusus, dalam bentuk yang khusus, dan disyaratkan ketika dikeluarkan telah memenuhi haul (masa satu tahun) dan nishob (ukuran minimal dikenai kewajiban zakat). Zakat pun kadang dimaksudkan untuk harta yang dikeluarkan. Sedangkan muzakki adalah istilah untuk orang yang memiliki harta dan mengeluarkan zakatnya.[2]
Zakat merupakan bagian dari rukun Islam, yaitu termasuk rukun Islam yang ketiga. Islam biasa diibaratkan dalam beberapa hadits dengan bangunan. Ini menunjukkan bahwa Islam itu bisa berdiri jika ada penegaknya. Dan di antara penegaknya adalah zakat. Itu berarti jika zakat itu tidak ada, maka bisa robohlah bangunan Islam tersebut. Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَالْحَجِّ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ
Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya; menegakkan shalat; menunaikan zakat; menunaikan haji; dan berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 8 dan Muslim no. 16)
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah berkata, “Zakat adalah suatu kepastian dalam syari’at Islam, sehingga tidak perlu lagi kita bersusah payah mendatangkan dalil-dalil untuk membuktikannya. Para ulama hanya berselisih pendapat dalam hal perinciannya. Adapun hukum asalnya telah disepakati bahwa zakat itu wajib, sehingga barang siapa yang mengingkarinya, ia menjadi kafir.”[3]
Perlu diketahui bahwa istilah zakat dan sedekah dalam syari’at Islam memiliki makna yang sama. Keduanya terbagi menjadi dua: (1) wajib, dan (2) sunnah. Adapun anggapan sebagian masyarakat bahwa zakat adalah yang hukum, sedangkan sedekah adalah yang sunnah, maka itu adalah anggapan yang tidak berdasarkan kepada dalil yang benar nan kuat.
Ibnul ‘Arobi rahimahullah mengatakan, “Zakat itu digunakan untuk istilah sedekah yang wajib, yang sunnah, untuk nafkah, kewajiban dan pemaafan.”[4]
Syarat-Syarat Zakat
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam masalah kewajiban zakat. Syarat tersebut ada yang berkaitan dengan muzakki (orang yang mengeluarkan zakat) dan ada yang berkaitan dengan harta.
Syarat pertama, berkaitan dengan muzakki (orang yang mengeluarkan zakat): (1) islam, dan (2) merdeka. [5]
Adapun anak kecil dan orang gila –jika memiliki harta dan memenuhi syarat-syaratnya- masih tetap dikenai zakat yang nanti akan dikeluarkan oleh walinya. Pendapat ini adalah pendapat terkuat dan dipilih oleh mayoritas ulama.[6]
Syarat kedua, berkaitan dengan harta yang dikeluarkan: (1) harta tersebut dimiliki secara sempurna, (2) harta tersebut adalah harta yang berkembang, (3) harta tersebut telah mencapai nishob, (4) telah mencapai haul (harta tersebut bertahan selama setahun), (5) harta tersebut merupakan kelebihan dari kebutuhan pokoknya.[7]
Berikut rincian dari syarat yang berkaitan dengan harta.
(1) Dimiliki secara sempurna.
Pemilik harta yang hakiki sebenarnya adalah Allah Ta’ala sebagaimana disebutkan dalam sebuah ayat,
آَمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ فَالَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَأَنْفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ
Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” (QS. Al Hadiid: 7) Al Qurthubi menjelaskan, “Ayat ini merupakan dalil bahwa pada hakekatnya harta adalah milik Allah. Hamba tidaklah memiliki apa-apa melainkan apa yang Allah ridhoi. Siapa saja yang menginfakkan hartanya pada jalan Allah sebagaimana halnya seseorang yang mengeluarkan harta orang lain dengan seizinnya, maka ia akan mendapatkan pahala yang melimpah dan amat banyak.”[8]
Harta yang hakikatnya milik Allah ini telah dikuasakan pada manusia. Jadi manusia yang diberi harta saat ini dianggap sebagai pemegang amanat harta yang hakikatnya milik Allah.
Sedangkan yang dimaksud dengan syarat di sini adalah harta tersebut adalah milik di tangan individu dan tidak berkaitan dengan hak orang lain, atau harta tersebut disalurkan atas pilihannya sendiri dan faedah dari harta tersebut dapat ia peroleh.[9]
Dari sini, apakah piutang itu terkena zakat? Pendapat yang benar dalam hal ini, piutang bisa dirinci menjadi dua macam:
  1. Piutang yang diharapkan bisa dilunasi karena diutangkan pada orang yang mampu untuk mengembalikan. Piutang seperti dikenai zakat, ditunaikan dengan segera dengan harta yang dimiliki dikeluarkan setiap haul (setiap tahun).
  2. Piutang yang sulit diharapkan untuk dilunasi  karena diutangkan pada orang yang sulit dalam melunasinya. Piutang seperti ini tidak dikenai zakat sampai piutang tersebut dilunasi.[10]
(2) Termasuk harta yang berkembang.
Yang dimaksudkan di sini adalah harta tersebut mendatangkan keuntungan dan manfaat bagi si empunya atau harta itu sendiri berkembang dengan sendirinya. Oleh karena itu, para ulama membagi harta yang berkembang menjadi dua macam: (a) harta yang berkembang secara hakiki (kuantitas), seperti harta perdagangan dan hewan ternah hasil perkembangbiakan, (b) harta yang berkembang secara takdiri (kualitas).
Dalil dari syarat ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَيْسَ عَلَى الْمُسْلِمِ صَدَقَةٌ فِى عَبْدِهِ وَلاَ فَرَسِهِ
Seorang muslim tidak dikenai kewajiban zakat pada budak dan kudanya.” (HR. Bukhari no. 1464)
Dari sini, maka tidak ada zakat pada harta yang disimpan untuk kebutuhan pokok semisal makanan yang disimpan, kendaraan, dan rumah.[11]
(3) Telah mencapai nishob.
Nishob adalah ukuran minimal suatu harta dikenai zakat. Untuk masing-masing harta yang dikenai zakat, ini akan ukuran nishob masing-masing yang nanti akan dijelaskan.
(4) Telah mencapai haul.
Artinya harta yang dikenai zakat telah mencapai masa satu tahun atau 12 bulan Hijriyah. Syarat ini berlaku bagi zakat pada mata uang dan hewan ternak. Sedangkan untuk zakat hasil pertanian tidak ada syarat haul, namun zakat dari pertanian dikeluarkan setiap kali panen.[12]
(5) Kelebihan dari kebutuhan pokok.
Harta yang merupakan kelebihan dari kebutuhan pokok, itulah sebagai barometer seseorang itu dianggap mampu atau berkecukupan. Sedangkan harta yang masih dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pokok, maka seperti ini dikatakan tidak mampu. Para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kebutuhan pokok adalah apabila kebutuhan tersebut dikeluarkan, maka seseorang bisa jadi akan celaka, seperti nafkah, tempat tinggal, dan pakaian. [13]
Harta yang Dikenai Zakat
Beberapa harta yang para ulama sepakat wajib dikenai zakat adalah:
  1. Emas dan perak (mata uang).
  2. Hewan ternak (unta, sapi, dan kambing).
  3. Pertanian dan buah-buahan (gandum, kurma, dan anggur).
Yang akan dibahas pada kesempatan selanjutnya secara khusus adalah mengenai zakat emas, perak dan mata uang. Semoga Allah mudahkan.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.


Referensi:
  1. Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, Asy Syamilah.
  2. Az Zakat wa Tathbiqotuhaa Al Mu’ashiroh, Dr. ‘Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath Thoyar, Darul Wathon, cetakan ketiga, 1415 H.
  3. Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, Darul Ma’rifah, 1379.
  4. Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, Al Maktabah At Taufiqiyah.
  5. Tafsir Al Qurthubi, Muhammad bin Ahmad Al Anshori Al Qurthubi, Mawqi’ Ya’sub.